Banyak orang berkata bahwa Indonesia itu kaya dengan bahan pangan, sumber vitamin, dan mineral. Namun dalam kenyataan, lebih dari setengah abad telah merdeka, masalah gizi masyarakat belum kunjung membaik. Padahal, gizi merupakan salah satu syarat utama pencapaian enam dari delapan Millenium Development Goal (MDG).
Bank Dunia mendefinisikan gizi sebagai modal kuat pembangunan bangsa. Sayangnya, bidang ini masih terabaikan. Negara berkembang malah lebih parah lagi. Masalah gizi mendapat prioritas yang sangat belakang dibandingkan ekonomi, sumber daya, dan keuangan.
Hal serupa terjadi di Indonesia, bahkan lebih menyedihkan. Dengan lahan luas, tanah subur, dan iklim bercocok tanam yang sesuai, bahan pangan tak mencukupi kebutuhan gizi sebagian besar rakyat
Indonesia dan Gizi
Indonesia memang sulit untuk belajar dan memanfaatkan karunia lahan tropis dengan baik. Beberapa masalah gizi masyarakat yang belum terselesaikan adalah kekurangan energi protein (KEP), anemia, gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), kekurangan vitamin A, dan masalah transisi epidemiologi gizi.
Sedih juga. Kalau kita cermati, hampir semuanya (sebenarnya) dapat kita atasi dengan distribusi pangan yang baik dan program daerah yang tepat
Pencapaian MDG di Indonesia tidak akan bisa sukses kalau masalah gizi tidak diatasi terlebih dahulu. Gizi merupakan sesuatu yang hilang dari MDG. Meskipun tidak pernah ada kata-kata “gizi” atau “nutrition” dalam target MDG, namun, perannya sangatlah fundamental.
Indonesia harus berhadapan langsung dengan tantangan bagaimana memposisikan gizi sebagai sentral dalam pembangunan. Untuk itu, perlu integrasi berbagai sektor baik pemerintah pusat, daerah, akademisi, masyarakat, dan tenaga kesehatan. Kalau tidak, semuanya akan terlambat.
Mengapa terlambat? Dalam gizi masyarakat, dikenal istilah window of opportunity yang berarti masalah gizi memiliki efek sisa seumur hidup. Rentang waktu dua tahun pertama kehidupan merupakan periode emas (atau celah peluang). Bila kebutuhan gizi tidak terpenuhi pada masa-masa rawan ini, masalah akan terbawa terus sampai dewasa.
Akibatnya, kualitas sumber daya manusia rendah. Produktivitas dan pembangunan berkurang baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih fatal, salah gizi (malnutrisi) mempunyai implikasi antargenerasi. Inilah yang disebut sebagai retained effect.
Sebagai solusi, Bank Dunia memberikan beberapa rumusan mitos gizi yang salah. Bila mitos-mitos ini dapat diluruskan, masalah gizi masyarakat dapat berangsur diperbaiki. Malnutrisi sering dipandang hanya sebagai ketidakcukupan intake makanan padahal bisa juga disebabkan masalah kebersihan dan infeksi. Dengan mengatasi masalah infeksi, status gizi masyarakat otomatis akan meningkat.
Perbaikan gizi selalu dipandang sebagai hasil perbaikan ekonomi. Lantas, ramai-ramai orang pemerintah hanya fokus pada perbaik-an ekonomi. Padahal, ada negara berkembang yang prevalensi malnutrisinya lebih rendah dibandingkan negara lain yang lebih kaya. Jadi, tidak harus menunggu perbaikan ekonomi untuk mengatasi masalah gizi.
Selain itu, program gizi sering dipandang tidak fisibel untuk skala massal terutama di negara miskin. Pandangan ini juga harus diubah. Program gizi dapat diterapkan di negara kita dengan komitmen yang kuat dari pemerintah.
Seputar Permasalahan Gizi di Indonesia