Mungkin di antara kita masih ingat pada saat kampanye Pilpres 2014 lalu, calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji segera menetapkan Hari Santri Indonesia. Setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, janji politik ini segera direalisasikan dan memerintahkannya kepada Menteri Agama RI untuk mewujudkan hal tersebut.
Sebetulnya, wacana peringatan Hari Santri telah mengemuka ketika Jokowi masih menjadi calon presiden itu bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Babussalam di Banjarejo, Pagelaran, Malang, Jawa Timur pada Jum’at, 27 Juni 2014. Saat itu Jokowi berjanji untuk memperjuangkan penetapan Hari Santri berdasarkan permintaan dari pimpinan Pondok Pesantren Babussalam KH Thoriq Darwis. Kunjungan Jokowi saat itu diakhiri dengan penandatanganan surat perjanjian penyanggupan penetapan Hari Santri Nasional pada 1 Muharram yang disaksikan oleh tim kampanye Jokowi dan segenap jajaran kyai dan ulama Ponpes Babussalam.
Bukan tanpa sebab Jokowi menyanggupi keinginan tersebut. Jokowi mendukung rencana penetapan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional, karena ini merupakan salah satu bukti apresiasi terhadap kearifan nasional. “Santri adalah kearifan lokal. Jadi, kalau kita buat penetapan Hari Santri Nasional, berarti itu menunjukkan bahwa kita telah memberikan penghargaan yang lebih tinggi terhadap santri, yakni menjadi kearifan nasional,” kata Jokowi dikutip antaranews.com (Minggu/ 29 Juni 2014).
Penetapan Hari Santri Nasional 22 Oktober
Pada awalnya, Hari Santri mengambil momentumn 1 Muharram bersamaan dengan Tahun Baru Hijriah, tetapi kemudian bergeser menjadi 22 Oktober. Mengapa kemudian Hari Santri diperingati 22 Oktober dan bukan 1 Muharram seperti saat pertama kali diwacanakan?. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) merupakan hasil musyawarah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama 12 Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI). Dan Alhamdulillah, Presiden Jokowi telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, dan pada tanggal 22 Oktover 2015 merupakan peringatan Hari Santri Nasional yang perdana.
Selanjutnya, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa 22 Oktober sebagai HSN karena mempresentasikan subtansi kesantrian. Yakni, spritualitas dan patriotisme ketika KH Hasyim Asyari mengumumkan fatwa Resolusi Jihad merespons agresi Belanda Kedua. Resolusi Jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa. Karenanya, atas pertimbangan itu, penetapan HSN pada tanggal 22 Oktober sangat tepat karena mengandung muatan historis yang sangat heroik dan monumental perjalanan sejarah bangsa khususnya bagi kalangan Santri Indonesia.
Kita dari kalangan santri tentu menyambut gembira ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Pada 22 Oktober 2015 ini sebagai peringatan perdana Hari Santri Nasional. Kegiatan ini mempresentasikan subtansi kesantrian, yakni spritualitas dan patriotisme yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa.
Menurut Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (PP RMI NU) KH Abdul Ghoffar Rozien setidaknya terdapat tiga alasan pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional.
Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945.
Kedua, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kyai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936. Para kyai dan santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa
Ketiga, kelompok santri dan kyai-kyai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para kyai dan santri selalu berada di garda terdepan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan.
Bila dikaji lebih mendalam pernyataan Gus Rozien di atas dapat ditegaskan bahwa Hari Santri bukanlah usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. Tetapi lebih dari itu, sebagai wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kyai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi. Sementara, adanya kritik terhadap rencana penetapan Hari Santri Nasional, menurut Gus Rozien merupakan hal yang wajar. Itu merupakan hak bagi setiap individu maupun kelompok untuk memberikan kritik. Akan tetapi, jelas argumentasi epistemiknya lemah jika menggunakan teori Gertz, yang sudah dikritik sendiri oleh kolega-koleganya, semisal Talal Asad, Andrew Beatty, Mark R Woodward, dan beberapa peneliti lain. Selain itu, kelompok abangan juga sudah banyak yang melebur menjadi santri.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, hari santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, sebagai penghormatan atas jasa pahlawan. Pengakuan semacam ini penting bagi generasi sekarang agar tak tercerabut dari kampung halaman sejarahnya. Kedua, sebagai pembangkit patriotisme. Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang belakangan bermunculan di Indonesia tidak banyak yang sungguh-sungguh memiliki komitmen keindonesiaan.
Memang dalam realitas sosio religious, santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian ini segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen kelompok. Membela tanah air berarti membela agama. Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman). Di kalangan santri kecintaan pada tanah air adalah bagian dari akidah dan keimanan, bukan semata-mata karena unsur kebangsaan atau nasionalisme. Sejarah telah menunjukkan, bahwa yang paling gagah berani merebut Kemerdekaan RI dari tangan penjajah adalah para ulama, para kyai, para santri, dan kaum Muslimin secara keseluruhan. Bagi mereka, mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan dengan kesungguhan. Mati dalam mengusir penjajah adalah bagian dari syahid yang sangat tinggi nilainya dalam pandangan Allah Swt.
Pun, setelah kemerdekaan sampai dengan saat sekarang pun, kalangan ulama, kyai, santri dan kaum muslimin tetap konsisten mencintai tanah airnya. Hanya saja tidak sekadar diungkapkan secara verbal dalam bentuk kata-kata, akan tetapi diwujudkan dalam upaya perbaikan tatanan kehidupan bangsa. Mereka sangat menjaga betul akhlak dan moral bangsa, tidak ingin dihancurkan oleh kekuatan apa pun dan dari mana pun datangnya. Karena itu, mereka sering bereaksi keras terhadap upaya penghancuran moral bangsa. Reaksi keras ini sebagai bagian dari kewajiban amar makruf-nahi munkar dan sebagai perwujudan dari kecintaan terhadap tanah air. Pesantren telah berkontribusi besar secara langsung terhadap lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di pesantren para santri dididik ajaran dan kultur toleransi (al-tasâmuh), sikap moderatisme, dan inklusivisme sebagai prinsip kehidupan yang sarat dengan perbedaan dan kemajemukan.
Telah ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh Presiden Jokowi berarti ada pengakuan terhadap peran santri, tentu saja peran ulama, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan. Namun satu hal yang penting dicatat bahwa dengan adanya Hari Santri Nasional ini tidak sebatas euphoria seremonial semata. Sebab hal ini tidak akan bermakna bila tidak disertai program pemberdayaan terhadap pesantren.
Di sinilah peran dan komitmen pemerintah agar mendorong pembenahan dan perbaikan yang harus dilakukan pesantren. Paling tidak tiga hal yang mesti digarap pesantren yang sesuai dengan jati dirinya. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan.
Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam.Pada tatanan ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti transfer of knowledge. Karena pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai “lahan” pengembangan ilmu agama.
Ketiga, dunia pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformasi, motivator, dan inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai fungsi itu meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebagai salah satu komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan “daya tawar” untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti.
Mudah-mudahan melalui peringatan Hari Santri Nasional ini mampu meningkatkan citra pesantren dan santri yang diyakini telah memberikan konstribusi bagi perjuangan bangsa dan negara yang selama diabaikan. Akhirnya, saya ucapkan selamat memperingati Hari Santri Nasional. Insya Allah kita selalu berkarya untuk bangsa dan negara. Wassalam.
Ditulis Oleh: H. Hendra Zainuddin. M.Pd.I
(Ketua Yayasan Santri dan Alumni Pesantren Indonesia/YAS-ALNI)
Judul asli: “PERINGATAN HARI SANTRI NASIONAL 2015: Meneguhkan Peran Santri Dalam Politik Kebangsaan”
Salinan Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri
Sejarah Penetapan Peringatan Hari Santri Nasional