Industri rokok di Indonesia diperkirakan baru dikembangkan pada tahun 1870 oleh Haji DJamhari, penduduk Kudus. Pada waktu itu orang Jawa masih merokok berupa tembakau yang dibungkus daun (rokok klobot). Suatu ketika ia merasa sakit di dada dan dicoba digosok dengan minyak cengkeh dan selanjutnya dengan mengunyah cengkeh.
Merasa lebih enak Haji DJamhari kemudian merajang cengkeh tersebut sampai halus dan dicampur dalam tembakau yang sudah dirajang, dibungkus klobot dan dicoba dihisap. Merasa sembuh ia kemudian membuat dan mencoba lagi sehingga teman-temannya ingin mencoba dan selanjutnya ia membuat rokok cengkeh tersebut sebagai industri untuk mata pencaharian. Nama rokok cengkeh oleh lidah orang Jawa diubah menjadi rokok kretek karena sewaktu dibakar dan dihisap rokok tersebut berbunyi kretek-kretek.
H. DJamhari meninggal pada tahun 1890, sehingga perkembangan industri rokok Kudus diperkirakan mulai tahun 1870 sampai dengan 1880 dan jenis rokok yang diproduksi waktu itu adalah rokok klobot. Rokok klobot ini dalam bahasa Belanda disebut strootje yang artinya rokok jerami.
Raja-raja rokok waktu itu tercatat : Sirin-PR (Pabrik Rokok) Garbis, H.M Muslich-PR Teboe dan PR Jagoeng. H. Atmowidjojo-PR Goenoeng, HM Noorchamid-PR Sabuk, Mas Nitisemitro-PR Bal Tiga, Sebelumnya pada 1864 di Deli telah didirikan pabrik tembakau oleh Nienhuys dan pada 1869 didirikan Deli Maatschappij yang hasilnya terutama diekspor.
Jadi pada tahun-tahun 1865-1870 tembakau dan rokok telah menjadi mata dagangan penting dan jenis rokok juga berbeda-beda tergantung daun/kertas pembungkus dan campurannya, yaitu :
- Pada 1900-an dikenal rokok nipah di Magelang dan Muntilan
- Pada 1900 dikenal rokok wangen yang kemudian lenyap pada 1930
- Pada tahun 1930 muncul rokok klembak di Purworejo, Kutoarjo dan Kebumen
- Pada 1925 pabrik rokok kretek telah bermunculan di semua kota kabupaten di Jawa Tengah dan pada 1931 telah menyebar ke seluruh bagian utara Jawa Tengah, Magelang, Surakarta dan Yogyakarta.
- Sebelum 1920 Jawa Timur mula-mula mengenal rokok Jawa yang berarti tanpa cengkeh.
- Pada 1910 mulai muncul industri H.M Sampoerna di Surabaya
- Pada 1920 masyarakat Jawa Timur mulai mengenal rokok cengkeh ‘ Pada 1929 muncul pabrik rokok cengkeh di Jombang
Sebelumnya pada 1905 di Bandung muncul industri rokok kawung yang pembungkusnya dari daun pohon kawung (aren). Dan Pada 1908 berdiri pula di Garut, pada 1910 di Tasikmalaya, kemudian Bogor dan Purwakarta.
Sementara itu, pada awal abad XX impor rokok putih ke Indonesia semakin meningkat dan para pengusaha pabrik rokok putih mulai mengincar pasaran. Indonesia dan mendirikan cabang pabrik British American Tobacco Co.Ltd (BAT) di Cirebon pada 1925 dan di Surabaya pada 1929. Rokok putih atau sigaret putih mesin (SPM) telah merajai pasaran domestik Indonesia pada 1950-an.
Pada tahun 1960 menurut Lance Castles, ada 192 pabrik sigaret kretek yang memproduksi 13.812 juta batang sigaret kretek menggunakan kertas, 3.703 juta batang rokok klobot dan 529 juta barang sigaret kelembak. Pada tahun 1960 itu seluruh produksi sigaret kretek di Indonesia sebesar 21.356 juta batang dengan jumlah karyawan 52.184 orang.
Sebelum 1970 konsumen rokok kretek telah semakin meningkat yang waktu itu berupa sigaret kretek buatan tangan (SKT) yang dibuat dengan cara melinting dengan tenaga manusia secara tradisional. Namun kemudian terjadi suatu revolusi dalam industri sigaret kretek yaitu kebetulan pada 1968 PT Bentoel di Malang mendapat kesulitan merekrut tenaga kerja untuk melinting SKT ini. Untuk mengatasi kesulitan dan mengejar produksi, perusahaan ini memesan mesin pembuat sigaret buatan pabrik Molin dari Inggris yang dimodifikasi untuk membuat sigaret kretek yang karena buatan mesin kemudian disebut sigaret kretek mesin (SKM) Pada waktu itu hasilnya 6.000 batang SKM permenit.
Sebagai pelopor industri SKM adalah PT Bentoel. Disebut demikian karena SKM tidak begitu saja diterima oleh konsumen, tetapi pada 1976 pasaran SKT dan SKM dapat ditembus oleh PT. Bentoel dengan produk SKM nya merek Bentoel Biru International yang dikemas dalam kemasan karton seperti sigaret putih yang mahal. Ini karena SKM telah dapat dibuat halus mirip rokok putih oleh PT. Djarum dengan mendatangkan mesin pembuat SKM pada 1977. PT Gudang Garam kemudian pada 1979 menyusul mengimpor mesin pembuat SKM.
Industri pabrik rokok di Indonesia sampai saat ini masih terkonsentrasi di Jawa ditambah sebagian di Sumatera Utara. Pabrik-pabrik ini terutama memproduksi sigaret kretek. Jenis sigaret yang diproduksi di Indonesia adalah:
1. Sigaret Putih atau Sigaret Putih Mesin (SPM) terutama diproduksi oleh PT.BAT. PT Tresno, PT Rodtman dan PT. STTC dengan merek-merek antara lain : Commodore, Escort, 555, State Express, Avion, Ardath, Dunhill dan Diplomat
2. Sigaret Kretek terdiri atas :
- a. Sigaret Kretek buatan tangan tanpa filter atau SKT dan dikerjakan/dilinting dengan tangan dan bersifat padat karya.
- b. Sigaret kretek buatan mesin, memakai filter dan SKM
- c. SKTF atau Sigaret Kretek buatan tangan dengan filter umumnya agak kasar dikerjakan oleh pabrik rokok kecil.
- d. Klobot rokok kretek yang dibungkus dengan daun jagung, yang umumnya dikonsumsi oleh para petani di pedesaan Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Barat
Menurut data dari Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) jumlah pabrik sigaret kretek pada 1985 adalah 146 buah dengan jumlah karyawan 142.267 orang. Jumlah ini pada tahun 1998 menurut sumber DJBC sudah mencapai 647 pabrik tembakau. Dalam hal ini yang bertambah adalah pabrik-pabrik ukuran kecil dengan jumlah produksi pada tahun 1996 sebesar 220.175 milyar batang yang sebagian besar (77 %) merupakan hasil produksi 4 pabrik golongan besar (PT. Gudang Garam, PT Djarum Kudus, PT.HM Sampoerna dan PT. Bentoel). Pada 1997 jumlah produksi mencapai 226,933 milyar batang.
Konsumsi Sigaret perkapita perhari di Indonesia pada tahun 1985 adalah 1,5 batang/orang/hari. Pada 1994 sudah menjadi 2,5 batang/orang/hari (menurut data PT HM Sampoerna 1995). Mengenai pangsa pasar menurut Rhenald Kasali, pada tahun 1970 rokok putih menguasai 40 % pasar rokok dan pada tahun 1985 menyusul tinggal 19%. Dari data yang diperoleh pada tahun 1994 pangsa pasar rokok putih (SPM) tinggal 12 %” Menurut dia DJBC pada tahun 1997 pangsa pasar SPM tinggal 11,2 % saja.
Perkembangan Industri Rokok Di Indonesia – Sumber: WBC
Oke