Beberapa waktu yang lalu, ada lembaga survey menyebutkan bahwa pamor politisi DPR “jeblok” di mata masyarakat. Responden yang menilai bahwa kinerja politisi itu baik hanya sebesar 23,4%, bahkan 51,3% di antaranya menilai bahwa kerja politisi sangat buruk. Dari hasil survey ini, setidaknya perlu menjadi pelajaran agar meningkatkan pola kaderisasi dan sistem recruitment calon anggota legislatif, yang lebih baik dan selektif. Sementara masyarakat diharapkan, untuk memilih calon anggota legislatif yang berkualitas dan berintegritas, sehingga pada akhirnya, banyak muncul politisi yang menjunjung moral dan etika, atau saya sebut sebagai “politisi beradab”.
Tema “politisi beradab” akan selalu berkaitan dengan perspektif kehidupan masyarakat, yang memiliki hubungan-hubungan tertentu, yang sering disebut sebagai struktur sosial, sehingga penilaian terhadap politisi dapat saja berbeda diantara berbagai struktur sosial tersebut. Kaitan politisi beradab dengan struktur sosial sampai sekarang masih menjadi polemik: apakah struktur itu yang membentuk politisi menjadi beradab, sebagai entitas yang terpisah, atau bahkan politisi yang membentuk struktur sosial yang memungkinkan terbentuknya kelompok elite dalam masyarakat.
Etika Dan Moral Politisi Beradab
Tidak sedikit orang mengkritik, bahwa tersubordinasinya persoalan politik kedalam struktur (sosial), menyebabkan politik dipakai sebagai alat untuk menunjang struktur yang telah ditetapkan oleh ”grand design” politisi tertentu. Hal ini menyebabkan politik tidak saja kehilangan otonominya, melainkan juga telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sekadar alat legitimasi untuk membenarkan tingkah lakunya.
Idealnya, politisi (beradab) harus dapat mengarahkan masyarakat untuk masuk kedalam keadaan dan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang memungkinkan terjadinya situasi yang berkeadilan sosial.
Revitalisasi dan reaktualisasi nilai etika dan moral politisi agar dapat tampil sebagai politisi beradab, merupakan upaya yang perlu dilakukan. Pengembangan dan pembinaan kader politik perlu diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa, melalui:
- aktualisasi nilai-nilai etika dan moral, dan penguatan ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya nilai materialisme,
- meningkatkan kemampuan para politisi dalam mengapresiasi pesan moral yang terkandung pada setiap kekayaan dan nilai-nilai budaya bangsa,
- mendorong kerja sama yang sinergis antar-pemangku kepentingan dalam mewujudkan visi bangsa Indonesia, yaitu bangsa dengan peradaban mulia dan luhur.
Tiga hal tersebut sejalan dengan cita-cita reformasi yang bertujuan untuk membangun “Indonesia Baru“, yaitu membangun sebuah masyarakat sipil yang demokratis, dengan penegakan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.
Cita-cita mulia ini akan terwujud jika dilaksanakan oleh politisi yang berintegritas tinggi. Integritas itu akan terjaga jika secara konsisten para politisi mengembangkan standar pergaulan di dalam kelompok sosialnya, yang dapat diwujudkan dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan, yang secara logika-rasional umum dinilai menyimpang dari kode yang disepakati bersama.
DPR-RI telah memiliki aturan tertulis, dan ini berlaku sebagai “self control” bagi para anggota Dewan. Kehadiran anggota DPR dengan perangkat “built-in mechanism” berupa Kode Etik DPR. Kode Etik ini sangat diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan kewenangan oleh DPR.
Oleh karena itu, jika para Anggota Dewan ingin tampil sebagai politisi beradab, akan dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, jika dalam diri para Anggota Dewan memiliki kesadaran kuat untuk mengindahkan etika dan moral pada saat ingin melaksanakan kewenangan konstitusionalnya
Etika dan Moral Berbangsa
Etika dan moral, sesungguhnya dapat dibedakan. Moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dalam kehidupan sosial, masyarakat mempunyai aturan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Sementara etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu. Kehidupan manusia bersifat multi-dimensi meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan. Semua ini memerlukan etika, termasuk didalamnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Etika dan moral berbangsa, setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu:
Pertama, etika dan moral individual, yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral
Kedua, etika sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial, etika individual dan etika sosial berkaitan erat satu sama lain, bahkan dalam arti tertentu sulit untuk dilepaskan dan dipisahkan satu sama lain.
Ketiga, etika lingkungan hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
Berkaitan dengan etika dan moral, jika dikaitkan dengan politisi beradab, dapat saya sampaikan:
Pertama, politisi beradab hanya dapat dilakukan, jika para politisi itu memiliki pemahaman terhadap etika dan moral bangsa, terutama ketika berhadapan dengan krisis sosial, budaya, dan moral yang terjadi, yang dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi di tengah masyarakat. Seperti, disintegrasi sosial-politik yang bersumber pada euforia kebebasan; lenyapnya kesabaran sosial dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkoba serta penyakit-penyakit sosial lain; dan berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bernuansa politis, etnis, dan agama.
Kedua, moral dan etika perlu dijadikan panduan universal yang merawat cita-cita kehidupan bernegara untuk mencapai tujuan asasinya, yaitu kehidupan yang berjalan di atas nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai budaya bangsa ini merupakan konsensus, sebagai rujukan berinteraksi dalam seluruh dimensi kehidupan. Setiap sikap dan perilaku di ruang publik, harus mencerminkan nilai-nilai itu, agar cita-cita dan keutuhan masyarakat tetap terjaga.
Ketiga, konsepsi dasar moral dan etika para politisi tentang sebuah negara, perlu terus mengacu pada konsensus nilai-nilai yang ada, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, terutama nilai-nilai mayoritas yang menjadi sebuah keniscayaan dalam mewarnai tata perilaku warga bangsa. Hal ini akan terjadi, jika politik kekuasaan berjalan di atas landasan demokrasi dan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat, sehingga nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tetap berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Keempat, moral dan etika para politisi harus dilahirkan dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang tujuannya adalah menjalin kebersamaan, merawat kesatuan, dan mencapai kehidupan yang tenteram, harmonis, dan sejahtera. Nilai merupakan landasan perilaku dalam seluruh sendi kehidupan, bukan sebagai legitimasi atau hiasan belaka. Moral dan etika dalam perilaku masyarakat, termasuk dalam politik bernegara adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena menafikan salah satunya berarti menarik kegiatan politik dari dimensi sosial dan hanya menjadi urusan pribadi. Moral dan etika membingkai politik, agar berjalan konsisten sesuai tujuan asasinya, sehingga tanggung jawab dan kewajiban manusia terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku, dan terhadap sesama manusia, dapat ditegakkan.
Atas dasar pemahaman tersebut, saya berpendapat bahwa pengembangan etika dan moral para politisi harus bersumber dari empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Persatuan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kedewasaan para politisi untuk melihat mozaik bangsa Indonesia akan bermuara pada tumbuhnya kesadaran, bahwa persatuan perlu dibangun di atas kemajemukan suku bangsa dan budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Kesadaran dan semangat persatuan dalam bingkai kebangsaan bersama inilah, yang kemudian menjadi landasan politik bernegara, dan menjadi acuan bersama, baik pada masa sebelum kemerdekaan ataupun pada awal kemerdekaan. Keberhasilan para founding fathers merawat rasa kebangsaan mengantarkan Republik Indonesia mampu meretas diri dari belenggu hegemoni kolonialisme.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi negeri ini, maka kebersamaan di tengah keragaman dan kolektivitas di tengah heterogenitas, menjadi kata kunci utama. Sebagai sebuah bangsa yang plural dan heterogen, semua upaya harus dilakukan dengan mengedepankan kebersamaan tanpa mengorbankan keberagaman.
Etika dan moral bangsa bukan sekedar konsepsi, tetapi harus terimplementasi dalam sikap dan perilaku politik yang berorientasi pada kepentingan seluruh masyarakat tanpa terkecuali, bukan kepentingan primordial suku bangsa tertentu atau etnik dan budaya tertentu. Perlu kesadaran historis dan moral, agar nilai-nilai yang tercantum dalam persatuan Indonesia menjadi penghayatan individual demi pertanggungjawaban kepada sejarah, dan kepada seluruh masyarakat, dan kepada Tuhan yang Maha Esa. Etika dan moral dalam kerangka persatuan ini akan menjadi dasar pertimbangan yang bijaksana, yang dapat mengatasi berbagai perbedaan.
Kesimpulan opini saya adalah, bahwa politisi beradab adalah politisi yang memiliki etika dan moral yang dituntut untuk berperilaku yang mementingkan kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang terwujud apabila dilandasi oleh kejernihan hati nurani, moralitas, kerendahan hati, keikhlasan, kejujuran, dan tanggung jawab.
Para politisi harus menyerahkan loyalitasnya kepada negara termasuk kepada pemimpin negara yang amanah, baik di pusat maupun di daerah. Loyalitas kepada negara harus lebih besar daripada loyalitas kepada partai atau kelompok ketika seseorang sudah menjadi pejabat negara. Inilah sosok politisi sejati yang digerakkan oleh wawasan kebangsaan yang terserap dalam dirinya.
Untuk menciptakan politisi yang beradab diperlukan sebuah sistem dan mekanisme yang menunjang atau bahkan memaksa untuk itu. Sistem itulah yang mampu menunjukkan kepada publik mengenai kualitas moral dan etika yang dimiliki oleh aktor-aktor atau elite-elite politik yang kewenangan politiknya bersumber dari kedaulatan rakyat. Wallahu’alam Bissawab.
Politisi Beradab Yang Menjunjung Etika Dan Moral – oleh: DR. H. Marzuki Alie