Karya-karya Iwan Simatupang, terutama “Ziarah” merupakan sebuah karya yang mempunyai daya tarik luar biasa, walaupun banyak yang tidak memahaminya. Beragam pendapat tentang karya Iwan telah disampaikan, namun semua mempunyai suatu titik persamaan, baik itu secara eksplisit maupun implisit, menganggap karya-karya Iwan sulit dipahami. Bentuknya yang tidak konvensional, cakupan budayanya yang luas, memaksa orang perlu pengetahuan yang luas untuk memahaminya.
Dalam suatu karya sastra terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat. Karena itu, berbicara tentang kesusastraan berarti juga membicarakan suatu segi kebudayaan. Sekarang, di mana-mana kita dapat menyaksikan percampuran budaya. Berkat hubungan antarnegara dan adanya komunikasi modern, dunia menjadi lebih kecil. Lagi pula, situasi politik menunjang percampuran budaya tersebut. Kita masih dapat melihat akibat kolonisasi yang tersebar selama berabad-abad di berbagai bagian bumi ini.
Biografi singkat tokoh sastra Iwan Simatupang
Iwan Simatupang (Iwan Martua Dongan Simatupang) lahir di Sibolga, Sumatra, pada tahun 1928, dalam lingkungan keluarga yang beragama Islam dan mahir membaca Alquran. Sebagian masa kecilnya berlalu di Aceh, daerah yang dikenal sebagai “Serambi Mekah”. Pada masa mudanya, pelajarannya di sekolah lanjutan Padang Sidempuan terhenti karena perang melawan Belanda meletus pada tahun 1948. Ia menjadi komandan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dan pemimpin organisasi pemuda Indonesia di Sumatra Utara.
Pada tahun 1949 ia ditangkap Belanda dan dibebaskan di Medan pada tahun yang sama. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan Belanda (HBS), ia melanjutkan pelajarannya ke fakultas kedokteran di Surabaya (1953). Sayang, ia tak tahan melihat darah dan tak sanggup memotong-motong mayat. Karena itu ia pun tidak dapat melanjutkan pelajarannya di fakultas kedokteran.
Iwan pun mencurahkan perhatiannya pada bidang yang telah diminatinya selama ini, yaitu bidang kebudayaan. Iwan pindah ke Jakarta, sebagai kancah perjuangan dan perkembangan budaya.
Pada tahun 1954 Iwan Simatupang mendapat beasiswa untuk memperluas pengetahuannya tentang kebudayaan di Eropa. Pada tahun berikutnya, ia menikah dengan seorang gadis Belanda, Cornelia Astrid van Geem (Corry) yang memberinya dua orang putra, Ino Alda dan Ion Portibi. Di Eropa Iwan mengikuti berbagai pelajaran: kuliah di Leiden (1956), kemudian di Den Haag, dan di Brugge (Ecole de I’Europe). Akhirnya, ia juga mengikuti kuliah filsafat di bawah bimbingan Prof. Jean Wahl di Sorbonne, Paris (1958).
Pada akhir tahun itu juga, ia kembali ke Indonesia bersama keluarganya. Kematian istrinya pada tahun 1960 sangat mempengaruhi jiwanya dan mendorongnya untuk menulis romannya yang pertama, Ziarah, yang dipersembahkannya pada istrinya. Walaupun demikian, ia tidak pernah menziarahi makam istrinya.
Pada tahun 1961 ia menikah lagi dengan seorang penari balet, Dra. Tanneke Burki yang memberinya seorang putri. Tetapi mereka bercerai tiga tahun kemudian. Untuk menghidupi keluarganya, Iwan melakukan segala macam pekerjaan: dosen sebuah akademi teater, pegawai sebuah perusahaan mobil, dan wartawan. Pada akhir kehidupannya, Iwan diganggu oleh masalah keuangan. Iwan meninggal pada tanggal 4 Agustus 1970, dalam usia 42 tahun, di tempat kediaman kakaknya yang tertua di Jakarta.
Jalan Pikiran Iwan Simatupang
Iwan Simatupang memiliki pengetahuan yang sangat luas, ia sangat banyak membaca, bahkan kadang-kadang ia sendiri merasa lelah dengan segala bacaannya.
Aku mulai letih dengan semua “pose” literer yang kujiplak selama ini dari Nietzsche, Dostoievski, Stridberg, Klages, Rabelais, Voltaire ! inginkan sikap yang orisinal, yang khas aku sendiri. Celaka, bila kita membaca terlalu banyak.Iwan Simatupang
Iwan mengungkapkan pikirannya dalam segala macam jenis sastra: roman, cerpen, drama, dan sajak. Sebagai wartawan ia juga banyak menulis esai dan kritik sastra. Ia hanya meninggalkan empat buah roman: Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, : Ziarah (1969) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977, Kering (1972), dan Kooong (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P Dan K 1975. Walaupun diterbitkan lebih dahulu, Merahnya Merah bukanlah novel yang pertama. Novel itu ditulis pada tahun 1961, sedangkan Ziarah pada tahun I960.
Di pihak lain, Iwan meninggalkan banyak sekali tulisan berupa esai, cerpen, dan terutama surat-surat pribadi yang menggambarkan pemikirannya tentang berbagai hal: kesusastraan, kebudayaan, kehidupan politik, bahkan juga tentang pertanian.
Pandangan politiknya sangat tajam. Dalam surat-suratnya, ia membuat analisis tentang situasi negara sebelum pemberontakan Partai Komunis yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Bahkan ia telah meramalkan pemberontakan itu setahun sebelumnya. Kata-kata inilah yang telah ditulis oleh Iwan Simatupang tentang situasi politik di Indonesia, setahun sebelum peristiwa G 30 S/PKI meletus.
Iwan tidak pernah man menjadi anggota salah satu partai politik: ia ingin tetap bebas dalam menyatakan pendapatnya. Walaupun demikian, kita dapat melihat ketajaman analisis politiknya, baik dalam surat-surat pribadinya maupun dalam artikel-artikel yang ditulisnya.
Iwan Simatupang Tokoh Marginal
Dalam bidang kebudayaan, seperti juga dalam bidang politik, ia tidak pernah terikat pada salah satu kelompok. Sejak tahun 1950 kehidupan budaya di Indonesia terbagi dalam dua kubu: yang pertama cenderung pada “humanisme universal” dan kubu yang kedua condong pada “realisme sosial””. Kelompok kedua terdiri dari anggota Lekra, yang berkiblat pada PKI.
Kedua belah pihak saling menyerang dengan kritik tajam, terutama setelah tahun 1960. Iwan Simatupang tidak menyukai kelompok kedua dan ia menunjukkan sikap bersahabat dengan budayawan dari kelompok pertama, terutama dengan H.B. Jassin. Karangannya sering dimuat dalam majalah Zenith, Mimbar Indonesia, Seni, Siasat, dan Sastra. Walaupun demikian, ia tidak bersedia menandatangani Manifesto Kebudayaan yang dicetuskan pada tanggal 23 Agustus 1963 oleh Jassin dan kawan-kawan.
Iwan adalah seorang tokoh marginal, yang tidak terikat pada kelompok mana pun. Demikian pula dalam penulisan karyanya. Para kritikus menganggap karya-karya Iwan Simatupang berbeda dari karya sastra Indonesia lainnya, baik dalam bentuk maupun isinya. Ia tidak termasuk ke dalam salah satu aliran sastra, juga tidak mempunyai pengikut. Hingga kini tak seorang pun dapat meniru gayanya.
Demikianlah, Iwan Simatupang dianggap sebagai pengarang marginal, ia tidak mengikuti salah satu aliran sastra dan tak ada pengarang lain yang mengikuti jejaknya.
Jadi, tampaknya Iwan sendiri menyenangi perannya sebagai pengarang marginal. Walaupun demikian, banyak kritikus yang tidak menyetujui pendapat itu, Iwan dianggap sebagai pengarang marginal hanya di antara para pengarang Indonesia saja, karena ia bertindak sebagai corong para penulis Perancis dan karyanya sering kali dihubungkan dengan para pengarang Eksistensialis dan Nouveau Roman.
Pemahaman Karya Iwan Simatupang
Walaupun pendapat mengenai Iwan sangat beragam, semua kritikus mempunyai suatu titik persamaan. Baik secara eksplisit maupun implisit, mereka menganggap karya-karya Iwan sulit dipahami dan perlu pengetahuan yang luas untuk memahaminya.
Novel-novelnya adalah produk yang amat sulit dicerna, bukan lantaran hal ini dan itu seperti biasa dilontarkan orang, yakni berkenaan dengan paham dan pandangan absurditasnya, tidak positif atau falistis atau yang Iain-lain macam itu. Karena literatur eksistensi alis, di mana pun, mulai dari nenek moyangnya yang disebut Fyodor Dostoyevsky, atau juga Soren Kierkeggard, baik dalam bentuk karya estetik maupun dalam bentuk renungan filsafat, semua itu terlalu lazim bersambungan dengan nada dasar yang juga mudah dikenali dalam karya-karya Iwan di dan dalam bahasa Indonesia itu.
Pada bagian lain dari masa mudanya ia tinggal di tanah kelahirannya, Sibolga, pusat agama Protestan di Sumatra Utara. Hal ini sangat penting bagi perkembangan pemikirannya. Kelak dalam suratnya yang ditujukan pada H.B. Jassin ia mengatakan bahwa ia jadi Katolik karena kesimpulan-kesimpulan estetis dan filosofis. Juga kelak istrinya beragama Katolik. Tidaklah mengherankan apabila kemudian ia tertarik pada masalah filsafat, terutama masalah kehidupan dan kematian.
Di antara pendapat yang dikemukakan para kritikus, ada yang membicarakan bentuknya, ada pula yang membicarakan isinya. Ada kritik yang penuh berisi puja-puji, ada pula yang bernada mengejek. Dapat dikemukakan misalnya, artikel Wing Karjo yang berbicara tentang bentuk roman-roman Iwan. Wing Karjo melihat bahwa kecenderungan pengarang untuk memberi penjelasan dapat mengganggu pembaca.
“Jalan cerita berulang-ulang diputuskan, ditunda oleh penjelasan latar belakang sesuatu situasi atau suasana hati para tokoh. Dengan demikian kita merasakan lambatnya jalan kisah. Hingga saat-saat yang paling dramatik pun dikorbankan demi penjelasan. (…) Sebuah roman yang baik tentulah tidak melewatkan pemikiran-pemikiran yang mendalam, tetapi janganlah hendaknya filsafat itu menenggelamkan tokoh-tokohnya dan ‘action’-nya sehingga intrigue-nya kehilangan keotentikan dan roman kehilangan jiwanya…”
Iwan Simatupang tidak hanya ditanggapi oleh para kritikus Indonesia, tetapi juga oleh para kritikus asing. Pamela Mc Call, seorang kritikus berbahasa Inggris, menandai adanya berbagai pengaruh “Barat” dalam karya Iwan Simatupang, terutama pengaruh lonesco. la berbicara tentang ‘ketiadaan proporsi yang disebabkan oleh tiadanya logika.’
Iwan Simatupang adalah salah seorang pengarang Indonesia yang paling banyak mendapat ulasan. Sayang sekali, kebanyakan ulasan tersebut singkat saja karena berupa artikel yang tersebar di berbagai surat kabar dan majalah.
Di Fakultas Sastra Universitas Indonesia tercatat tiga orang sarjana yang membuat skripsi di bidang sastra dengan topik karya Iwan Simatupang. Mereka adalah Dami N. Toda yang kemudian menerbitkan skripsinya dengan judul Novel Baru Iwan Simatupang; J. Prapta Diharja dengan judul Gaya Iwan Simatupang dalam Ziarah; dan Kurnia Jaya Raya dengan judul Resepsi Novel-novel Iwan Simatupang di Indonesia 1968-1988.
Selain itu dalam memperingati 10 tahun wafatnya Iwan Simatupang (1980), Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Tingkat I Jakarta Raya mengadakan lomba penulisan esai yang menyoroti karya-karya almarhum. Esai-esai yang dianggap baik kemudian dibukukan dengan judul Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia dengan editor Korrie Layun Rampan. Hingga kini di sekitar hari wafatnya Iwan Simatupang setiap tahun kita lihat bermunculan artikel di surat kabar dan majalah yang membicarakan novel-novel Iwan, seakan-akan tak habis-habisnya pembicaraan itu.
Iwan Simatupang pengagum sastra Perancis, ia mengagumi pengarang-pengarang Perancis, termasuk Robbe-Grillet, tetapi ia menolak pendapat yang menyatakan bahwa dia penjiplak Robbe-Grillet. Walaupun begitu, satu hal yang pasti, Iwan selalu mencari pembaharuan dalam roman. Itulah sebabnya ia tertarik oleh Nouveau Roman.
Hingga akhir hidupnya, Iwan Simatupang terus-menerus mencari bentuk roman baru. la berharap dapat menemukan “tokoh Asia” untuk romannya. Iwan Simatupang sadar bahwa pendidikannya adalah “Barat” dan tidak akan mudah baginya untuk mewujudkan harapannya. Kadang-kadang ia merasa lelah dan putus asa untuk melanjutkan pencariannya. Ia pun bertanya-tanya apakah masih mungkin baginya untuk menulis sebuah roman. Itulah sebabnya ia menganggap ketiga romannya sebagai “suatu studi ke arah seni roman”.
Mengenal Sosok Iwan Simatupang Sastrawan Indonesia – Literasi Publik