Perang biasanya identik dengan kebencian, darah, dan kematian. Tapi “Perang Topat” di Lombok, Nusa Tenggara Barat, justru menjadi simbol persaudaraan dan kebersamaan antar umat Islam dan Hindu.
Gong ditabuh, suara beberapa alat musik mengalun merdu dengan tempo yang tidak terlalu cepat namun dengan ritme yang harmonis. Satu persatu orang keluar dari Pura Kemaliq membawa sesuatu di atas kepala mereka sejenis banten atau sesaji. Mereka berjalan meniti tangga dan masuk ke area belakang panggung. Prosesi dilanjutkan dengan berhenti sejenak, diselingi persembahan tari-tarian tradisional.
Sesaji-sesaji yang mereka bawa di atas kepala, ada bunga-bungaan, buah-buahan: pisang, kelapa, hasil pertanian, kendi air, makanan, dan tak ketinggalan topat (ketupat). Sesaji-sesaji dibawa oleh para wanita. Sedangkan para pria membawa tongkat, payung-payung besar, serta alat musik yang mereka mainkan.
Para wanita pembawa sesaji berpakaian aneka macam. Ada yang menggunakan kebaya, pakaian khas suku Sasak Lombok, dan ada pula yang mengenakan jilbab. Pakaian para pria umumnya mengenakan sarung dan ikat kepala. Beberapa dari mereka menggunakan pakaian perang, seperti layaknya prajurit yang akan bertempur.
Budaya Perang Topat
Sebelum perang topat dimulai, diawali dengan pertunjukan budaya tradisional seperti: tari bala anjani dan presean. Rombongan ini berjalan menuju Pura Kemaliq. Cukup lama prosesi yang terjadi di dalamnya, hingga mereka keluar dari dalam Pura dengan membawa baki-baki berisi ketupat.
Para pria segera bersiap mengatur posisi, bahkan ada yang sampai naik ke atas pagar-pagar Pura. Sebagian lagi mengatur diri di posisi yang siap menyerang. Tak sedikit mereka mendekat ke arah panggung dimana lemparan ketupat pertama akan dilakukan.
Saat baki ketupat sampai di panggung, kegaduhan pun dimulai. Ketupat demi ketupat mulai beterbangan. Mereka saling melempar satu sama lain di kutub yang berlainan. Mereka menyerang satu sama lain dengan diselingi canda dan tawa. Alih-alih menjauh, mereka malah semakin mendekat ke arah datangnya ketupat.
Mereka berebut untuk mendapatkan ketupat tersebut. Melemparnya kembali atau bahkan beberapa dari mereka sengaja menyimpannya. Mereka percaya, jika ketupat itu disimpan di toko maka jualannya akan laris. Atau jika disebar di sawah maka tanaman padi akan tumbuh subur. Ketupat tersebut menjadi simbol keberkahan.
Sejarah Perang Topat
Menurut sejarahnya, perang topat merupakan salah satu ritual dalam prosesi upacara Pujawali. Pujawali sendiri sebenarnya salah satu upacara yang biasa dilakukan umat Hindu seperti halnya di Bali maupun di India. Namun, Perang topat sendiri dilakukan tak hanya oleh umat Hindu di Lombok, melainkan mereka yang beragama Islam pun mengikutinya, terutama Islam Wetu Telu. Perang ini juga merupakan bagian dari sebuah upacara kuno argaria yang biasanya dilaksanakan sebelum menanam Padi.
Tradisi parang topat merupakan ritual unik masyarakat Pulau Lombok yang notabene dihuni oleh masyarakat yang beragama Hindu dan Islam, untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama serta menjaga keharmonisan dengan alam.
Perang topat bisanya di gelar bulan Desember setiap tahunnya atau bulan purnama ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Adapun waktunya biasa dilakukan pada sore hari di Pura Lingsar. Mereka menyebutnya “rarak kembang waru” (waktu gugur daun pohon waru).
Pura Lingsar sendiri merupakan salah satu kompleks pura terbesar di Lombok, yang berlokasi di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada. Di bagian dalam Pura Lingsar terdapat Pura Kemaliq dan Pura Gaduh. Pura Kemaliq dianggap suci bagi umat Islam Sasak. Sedangkan Pura Gaduh merupakan pura yang disucikan oleh umat Hindu di Lombok.
Sungguh, negeri kita kaya akan keberagaman, baik suku, agama, bahkan juga warna kulit. Perbedaan-perbedaan itu yang justru melahirkan tradisi yang unik. Seperti tradisi Perang Topat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat ini.
Perang Topat, Perang Perdamaian Umat Islam dan Hindu