Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia sepatutnya terus meningkatkan peran sertanya dalam memperkuat kerja sama alternatif semacam Developing-Eight (D-8) dalam strategi nasional. Melalui peran serta ini diharapkan kebutuhan akan pembiayaan infrastruktur dan permodalan lain yang selama ini menjadi beban nasional kiranya dapat teratasi.
Untuk itu, penguatan sumber daya manusia dan teknologi menjadi syarat penting dalam pengelolaan kerja sama ini. Selain itu, keikutsertaan pemangku kepentingan lain seperti para pengusaha dan akademisi dalam pengambilan keputusan juga dapat meningkatkan mutu kerja sama D-8.
Sejarah Kelompok Developing-Eight (D-8)
Sebagaimana namanya, organisasi atau kelompok Developing-Eight (D-8) didirikan oleh delapan negara berkembang dengan jumlah penduduk muslim besar, yaitu Indonesia, Bangladesh, Mesir, Iran, Malaysia, Nigeria, Turki dan Pakistan. Jika dilihat dari struktur penduduknya, organisasi ini memiliki populasi 60% dari jumlah masyarakat muslim di seluruh dunia atau sekitar 14% dari total populasi dunia.
Ide mengenai pembentukan D-8 (Developing-Eight) dicetuskan oleh Dr. Necmetin Erbakan, mantan Perdana Menteri Turki, di dalam seminar tentang Kemitraan dalam Pembangunan, bulan Oktober 1996 di Turki yang kemudian berlanjut menjadi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. KTT ini selanjutnya menghasilkan Deklarasi Istanbul yang digunakan sebagai dasar pembentukan organisasi ini.
Di awal pembentukannya, D-8 berfokus pada upaya menghimpun kekuatan negara-negara berpenduduk muslim dalam memperkuat ekonominya serta menghadapi sikap bias yang diterapkan oleh negara-negara Barat. Kedelapan negara yang juga merupakan anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dalam perkembangannya menilai bahwa kerja sama yang dilakukan dalam struktur OKI kurang efektif dalam menghadapi berbagai tantangan, utamanya di bidang kerja sama perdagangan dan perekonomian.
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan komposisi dan daya saing negara anggotanya di berbagai kelompok kawasan, maka kerja sama D-8 diharapkan dapat lebih mempercepat laju pertumbuhan perekonomian anggotanya sekaligus meningkatkan daya tawar kelompok ini pada sistem perdagangan dunia.
Misalnya, Indonesia dan Malaysia adalah anggota ASEAN, G-15, APEC, ASEM, IOR-ARC (Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation) dan FEALAC (Forum for East Asia and America Latin Cooperation); Indonesia dan Turki adalah anggota G20; Bangladesh dan Pakistan anggota SAARC, Iran anggota IOR-ARC, Mesir anggota Arab League dan Nigeria adalah anggota African Union dan ECOWAS (Economic Community of West African States).
Selain keanggotaan negara D-8 dalam berbagai forum, besarnya kekayaan alam dan potensi lain yang dimiliki negara-negara anggota D-8 diharapkan dapat memperkuat berbagai sektor penting di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan pembangunan nasional di masing-masing negara.
Pada penyelenggaraan KTT D-8 di tahun 2004 telah dihasilkan komitmen untuk meningkatkan kerja sama intra-trade melalui penyusunan 3 (tiga) perjanjian utama D8, yaitu Perjanjian Perdagangan Terpilih (Preferential Trade Agreement, PTA), Perjanjian Visa, dan Perjanjian Bea dan Cukai (Customs). Ketiga perjanjian ini selanjutnya ditandatangani pada saat KTT D-8 ke-5 yang dilaksanakan di Bali, Indonesia pada tahun 2006
Di bawah pimpinan Indonesia, (2006- 2008), D-8 berhasil memfokuskan dan meningkatkan kegiatannya melalui D-8 Roadmap 2008-2018 yang menetapkan 5 bidang sasaran sebagai prioritas, yaitu Trade, Agriculture & Food Security, Industrial Cooperation & SMEs, Transportation dan Energy & Mineral, tanpa mengabaikan sektor-sektor potensial lainnya. Melalui roadmap tersebut diharapkan perdagangan intra negara anggota dapat mencapai 15- 20% dari total perdagangan dunia di akhir tahun 2018.
Catatan penting lain yang ditorehkan Indonesia pada masa kepemimpinannya adalah disepakatinya wakil Indonesia sebagai Sekretaris Jenderal D-8 pertama pasca diterimanya perubahan struktur Sekretariat D-8 dari bentuk Direktur Eksekutif menjadi Sekretaris Jenderal.
Setelah memimpin masa ad-interim, Dr. Dipo Alam terpilih menjadi Sekjen pertama dengan masa jabatan 2009-2012. Namun demikian, ditengah masa jabatannya yang bersangkutan terpilih menjadi Menteri Seskab dan jabatan Sekjen dilanjutkan oleh Dr. Widi Pratikto hingga akhir tahun 2012.
Manfaat D-8 bagi Indonesia
Dari catatan yang dimiliki Kementerian Perdagangan, volume intra-trade D-8 pada tahun 2010 mencapai 100 miliar USD atau baru sekitar 7% dari total volume perdagangan yang dilakukan negara-negara anggota D-8 secara keseluruhan. Namun demikian, sejak tahun 2006, perdagangan Indonesia terhadap negara-negara D-8 mengalami kenaikan sebesar 9,6%, bahkan pada beberapa negara dapat mencapai 12-14 %.
Jika target road-map untuk mencapai target USD 2,8 triliun di tahun 2020 dapat tercapai, maka pangsa pasar D-8 dapat menjadi alternatif utama bagi mitra dagang nasional. Hal ini tentunya sesuai dengan kebijakan yang ditempuh Pemerintah
Manfaat lain yang diperoleh Indonesia Di Tengah Perubahan Peradaban Dunia adalah meningkatnya daya tawar (leverage) kelompok ini dalam berbagai fora di sektor-sektor yang memiliki perhatian bersama. Dalam pertemuan komisioner di Abuja awal Maret lalu, Indonesia telah mengusulkan agar D-8 dapat mencermati kemungkinan dilakukannya posisi bersama di berbagai forum multilateral, khususnya di sektor terkait di Jenewa, New York, Wina, Nairobi dan Roma sebagai langkah awal dalam memperkuat kebersamaan D-8.
Adanya perumusan posisi bersama ini juga diharapkan dapat menjadi strategi alternatif di samping strategi Indonesia bersama kelompok lain sehingga sinergi dari negara berkembang menjadi strategi yang lebih melengkapi dan komprehensif.
Kelemahan D-8
Dalam pembahasan mengenai kerja sama D-8 dengan pemangku kepentingan yang dilakukan oleh Dit. Sosbud OINB beberapa waktu lalu disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam kerja sama ini adalah belum diikutsertakannya negara-negara muslim-Arab yang berlimpah dana seperti Saudi Arabia, Qatar, Kuwait dan Bahrain. Selain itu, masing-masing anggota D-8 masih bebas bertindak secara unilateral tanpa terpengaruh oleh anggota lain. Catatan ini diharapkan nantinya dapat diminimalkan oleh D-8
Potensi Andalan Lain
Adapun potensi lain yang belum tergarap dalam kerja sama ini adalah pasar syariah dan pengembangan industri keuangan serta perbankan Islam, pengembangan industri halal, pembiayaan syariah bagi infrastruktur dan pengembangan sektor wakaf dan zakat untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan.
Sebagai contoh,dalam catatan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, aset industri keuangan syariah akan mencapai USD 8,60 triliun di tahun 2023. Sementara, untuk industri halal saat ini telah mencapai USD 2,3 triliun yang terdiri dari makanan minuman (67%), farmasi (22%) dan kosmetik (10%).
Sangat disayangkan justru pengembangan industri halal saat ini didominasi oleh pelaku dari negara non-muslim seperti Nestle, Mc Donalds, Tesco & Carrefour serta Port Rotterdam.
Di masa depan, D-8 dituntut keberadaannya untuk memperkuat kualitas dan kuantitasnya dalam berbagai kegiatan yang seharusnya menjadi milik D-8. Industri halal dan sistem perekonomian syariah sudah sepatutnya menjadi prioritas andalan disamping berbagai industri yang telah menjadi kesepakatan.
Peran Indonesia Dalam Kelompok D-8