Kabupaten Alor, provinsi Nusa Tenggara Timur, dikenal juga dengan sebutan Pulau Seribu Moko. Apakah Moko itu? Moko adalah penamaan masyarakat Alor terhadap Nekara. Nekara adalah benda atau alat berbentuk seperti gendang besar terbuat dari perunggu berhiaskan ukiran, peninggalan dari Zaman Perunggu yang digunakan dalam kegiatan upacara budaya.
Secara fisik, nekara Moko yang konon sudah ada sejak abad 14 Masehi, berbentuk seperti drum dengan diameter 40 cm-60 cm dan tinggi 80 cm-100 cm. Benda ini terbuat dari perunggu atau logam. Di sekujur tubuhnya terdapat hiasan tradisional yang disinyalir menyerupai motif hiasan di zaman kebudayaan Dongson, Vietnam utara.
Moko, Nekara dari Alor
Moko memiliki berbagai variasi bentuk yang sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun bentuk dasarnya (seperti tifa) tetap sama. Moko juga mempunyai motif yang berbeda-beda pada permukaannya. Setiap moko juga memiliki nama yang berbeda-beda, misalnya moko Makasar (Moko Malahai), Moko Jawa, Moko lima anak panah, Moko tiga anak panah, Moko Habartur, Moko Tahmata dan lain-lain.
Setiap moko juga memiliki nilai yang berbeda-beda. Misalnya Moko Makasar memiliki nilai tinggi yang jika dihargai dengan uang bisa mencapai 12 juta rupiah. Moko Tahmata bernilai lebih rendah atau sekitar 3 juta rupiah jika dihargai dengan uang. Akan tetapi nilai tersebut tidaklah seragam di setiap daerah di Alor. Misalnya di Pulau Pantar, Moko Lima anak Panah merupakan jenis moko dengan nilai tertinggi.
Orang Alor bisa membedakan dengan sangat baik setiap jenis Moko berdasarkan ragam hias, bentuk dan ukurannya. Secara umum Moka dapat dibedakan menjadi dua. Moko yang diproduksi sebelum ada pengaruh Hindu di Indonesia dan Moko yang diproduksi sesudah ada pengaruh Hindu.
Bagi masyarakat Alor saat ini, moko adalah anugerah Tuhan, yang bisa muncul dari tanah bahkan dari laut. Mereka mengatakan demikian karena tidak ada pabrik yang membuat moko di Alor.
Mengapa dari laut? Apakah ada kaitannya dengan aktivitas perdagangan lewat jalur laut. Mengapa dari dalam tanah? Apakah mungkin karena dikubur oleh pemiliknya dengan tujuan menyembunyikannya karena sesuatu dan lain hal. Semua masih kabur, karena masih kurangnya bukti-bukti penunjang.
Moko, dari Simbol Status Sosial hingga Alat Musik
Moko adalah kebudayaan benda masa silam yang lahir dari tangan terampil nenek moyang. Di zamannya, ia berfungsi sebagai alat musik tradisional yang digunakan pada waktu upacara adat dan acara kesenian lainnya. Selain itu Moko juga dipakai alat tukar-menukar barang. Dan yang tertinggi, Moko juga digunakan sebagai Mas Kawin atau belis untuk meminang calon mempelai perempuan serta sebagai simbol status sosial masyarakat Alor.
Seorang peneliti Asing, Cora Dubois, menjelaskan empat fungsi Moko.
1. Moko sebagai simbol status sosial.
Pemilik jumlah dan jenis Moko tertentu menunjukkan status sosial sesorang dalam masyarakat. Misalnya Moko Malei Tana atau Moko Itkira. Kepemilikan Moko ini menunjukkan status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan orang yang memiliki Moko ini dalam jumlah tertentu akan cukup berpengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional.
2. Moko sebagai alat musik.
Moko dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari kayu dan kulit hewan Alat musik gong dan Moko biasanya dimainkan untuk pengiring tari-tarian. Dalam perspektif orang Alor, gong yang berbentuk plat dalam posisi telungkup adalah lambang kewanitaan. Sedangkan Moko berbentuk bulat dalam posisi berdiri adalah lambang kejantanan.
3. Moko sebagai alat tukar ekonomi.
Sejak dahulu orang Alor mengenal Moko sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat ditukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang kemudian menyebabkan inflasi pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko.
4. Moko sebagai peralatan belis atau mas kawin.
Seorang pria yang hendak menikah harus menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga perempuan calon isteri. Kaum bangsawan menggunakan Moko Malei Tana sebagai mas kawin. Orang biasa menggunakan Moko Malei Utangpei yang disebut delapan bobak
Selain sebagai belis, moko juga bisa menjadi simbol perdamaian antara 2 kelompok yang bertikai. Salah satu kelompok menyerahkan moko ke kelompok lainnya sebagai tanda perdamaian. Moko yang telah digunakan sebagai simbol perdamaian tidak boleh digunakan sebagai belis. Jika digunakan, maka dipercaya hal itu akan menimbulkan musibah bagi kedua mempelai, misalnya jatuh sakit.
Moko Simbol Kebudayaan Masyarakat Alor