Literasi baca-tulis merupakan moyang segala jenis literasi karena memiliki sejarah amat panjang. Literasi ini bahkan dapat dikatakan sebagai makna awal literasi, meskipun kemudian dari waktu ke waktu makna tersebut mengalami perubahan. Tidak mengherankan jika pengertian literasi baca-tulis mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Pada mulanya literasi baca-tulis sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai pemahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Tidak mengherankan jika kegiatan literasi baca-tulis selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Lebih lanjut, literasi baca-tulis dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial di dalam masyarakat. Di sinilah literasi baca-tulis sering dianggap sebagai kemahiran berwacana. Dalam konteks inilah Deklarasi Praha pada 2003 mengartikan literasi baca-tulis juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.
Literasi baca-tulis juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya. Deklarasi UNESCO tersebut juga menyebutkan bahwa literasi baca-tulis terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar manusia yang menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Pengertian Literasi Baca-Tulis
Forum Ekonomi Dunia 2015 dan 2016 mengartikan literasi baca-tulis sebagai pengetahuan baca-tulis, kemampuan memahami baca-tulis, dan kemampuan menggunakan bahasa tulis. Senada dengan itu, dalam Peta Jalan GLN, literasi baca- tulis diartikan sebagai pengetahuan dan kemampuan membaca dan menulis, mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis, serta kemampuan menganalisis, menanggapi, dan menggunakan bahasa.
Dengan demikian, pengertian literasi baca-tulis adalah pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial.
Prinsip Dasar Pengembangan dan Implementasi Literasi Baca-Tulis
Dalam Gerakan Literasi Nasional, literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan berlandaskan pada lima prinsip dasar, sebagai berikut.
1. Prinsip Keutuhan dan Kemenyeluruhan (Holistik)
Literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan secara utuh-menyeluruh (holistik), tidak terpisah dari aspek terkait yang lain dan menjadi bagian elemen yang terkait dengan yang lain, baik internal maupun eksternal. Di sini pengembangan dan implementasi literasi baca-tulis tidak terpisahkan dari literasi numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan. Pengembangan dan implementasi literasi baca-tulis di ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat juga merupakan satu kesatuan dan keutuhan, harus saling mendukung dan memperkuat, tidak merintangi dan menghambat. Lebih lanjut, literasi baca-tulis sebagai satu keutuhan literasi dasar perlu dikembangkan dan diimplementasikan secara serasi, serempak, dan sinkron dengan pengembangan kualitas karakter (dalam Gerakan PPK) dan kompetensi (dalam pelaksanaan Kurikulum 13) sebagai roh utama Kecakapan Abad XXI. Begitu juga pengembangan dan implementasi literasi baca-tulis yang dilaksanakan oleh berbagai unit kerja di Kemendikbud dan lingkungan pemerintahan lain (kementerian dan LPNK) serta kelompok masyarakat merupakan satu keutuhan dan kesatuan untuk mencapai tujuan dan maksud GLN, tujuan pendidikan nasional, dan visi pemerintahan.
2. Prinsip Keterpaduan (Terintegrasi )
Literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan dengan memadukan (mengintegrasikan) secara sistemis, menghubungkan dan merangkaikan secara harmonis, dan melekatkan literasi baca-tulis secara sinergis dengan yang lain, baik dalam hal kebijakan, program, kegiatan, maupun pelaksana dan berbagai pihak yang mendukung; bukan sekadar tambahan, tempelan, dan sisipan dalam kebijakan, program, dan kegiatan pendidikan dan kebudayaan di ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam belajar dan pembelajaran di sekolah, misalnya, program dan kegiatan literasi baca-tulis perlu melekat secara sinergis dengan program dan kegiatan pembelajaran semua mata pelajaran; program dan kegiatan literasi baca-tulis di dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler perlu saling terhubung dan terangkai secara baik; dan guru mata pelajaran, pendamping kegiatan kokurikuler, dan pembina kegiatan ekstrakurikuler yang melaksanakan kegiatan literasi baca-tulis perlu saling melengkapi dan memperkaya. Demikian juga program dan kegiatan literasi baca-tulis di masyarakat harus bisa saling melengkapi dan memperkaya program dan kegiatan literasi baca-tulis di keluarga. Bahkan, kebijakan literasi baca-tulis di Kemendikbud perlu terhubung dan tersatukan dengan kebijakan literasi baca-tulis di kementerian dan LPNK lainnya.
3. Prinsip Keberlanjutan (Sustainabilitas)
Literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan secara berkesinambungan, dinamis terus-menerus, dan berlanjut dari waktu ke waktu, tidak sekali jadi dan selesai dalam satuan waktu tertentu. Pengembangan dan pelaksanaan kebijakan literasi baca-tulis di ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus di samping partisipasi dan keterlibatan berbagai pihak terkait secara terus-menerus diperluas dan diperkuat dari waktu ke waktu. Perbaikan dan peningkatan program dan kegiatan literasi baca-tulis juga dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan berdasarkan praktik baik, hasil evaluasi program, peluang dan tantangan baru yang muncul, dan masalah-masalah pelaksanaan literasi baca-tulis di ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat oleh berbagai pemangku kepentingan GLN, khususnya gerakan literasi baca-tulis.
4. Prinsip Kontekstualitas
Kebijakan, strategi, program, dan kegiatan literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan dengan mendasarkan dan mempertimbangkan konteks geografis, demografis, sosial, dan kultural yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, sekalipun terikat dengan kebijakan dan program pokok yang tercantum dalam Peta Jalan GLN, secara operasional pelaksanaan atau penerapan kebijakan, program, dan kegiatan literasi baca-tulis di Indonesia bisa beraneka ragam dan berbhineka, tidak seragam dan sama. Misalnya, program, jenis, dan bahan kegiatan literasi baca-tulis di daerah urban, satelit, perdesaan, dan perbatasan dapat berbeda sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing, sekalipun tidak boleh asal berbeda. Penyesuaian dan adaptasi sesuai dengan karakteristik daerah dimungkinkan dalam implementasi literasi baca-tulis. Di samping itu, karakteristik sosial dan kultural masyarakat juga diperhitungkan. Sebagai contoh, bentuk dan strategi kegiatan literasi baca-tulis di sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat mendayagunakan dan memanfaatkan kekayaan sosial dan budaya setempat. Pengembangan dan implementasi literasi baca-tulis yang peka konteks seperti ini niscaya akan memiliki keberterimaan dan tingkat keberhasilan yang lebih baik.
5. Prinsip Responsif Kearifan Lokal
Literasi baca-tulis tidak berada di ruang vakum sosial dan budaya serta tidak bisa dikembangkan dan diimplementasikan dengan mengabaikan, lebih-lebih meniadakan lokalitas sosial dan budaya. Agar gerakan literasi baca-tulis membumi dan berhasil tujuannya, pengembangan dan implementasi literasi baca-tulis perlu responsif dan adaptif terhadap kearifan lokal; kearifan lokal nusantara yang demikian kaya dan beragam perlu didayagunakan dan dimanfaatkan secara optimal dalam perencanaan dan pelaksanaan literasi baca-tulis di sekolah, keluarga, dan masyarakat sehingga literasi baca-tulis juga mampu merawat, merevitalisasi, dan melestarikan serta meremajakan (rejuvinasi) kearifan lokal Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan kesigapan dan kecekatan para pemangku kepentingan literasi baca-tulis yang ada di berbagai lini GLN, baik di Kemendikbud dan dinas pendidikan dan/atau kebudayaan maupun di lingkungan kementerian dan LPNK lain.
Literasi Baca-Tulis Sebagai Kecakapan Hidup
Di tengah banjir bandang informasi melalui pelbagai media, baik media massa cetak, audiovisual, maupun media sosial, kemampuan literasi baca-tulis tersebut sangat penting. Dengan kemampuan literasi baca-tulis yang memadai dan mantap, kita sebagai individu, masyarakat, dan/atau bangsa tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai informasi yang beraneka ragam yang datang secara bertubi-tubi kepada kita. Di samping itu, dengan kemampuan literasi baca-tulis yang baik, kita bisa meraih kemajuan dan keberhasilan.
Tidak mengherankan, UNESCO menyatakan bahwa kemampuan literasi baca-tulis merupakan titik pusat kemajuan. Vision Paper UNESCO (2004) menegaskan bahwa kemampuan literasi baca-tulis telah menjadi prasyarat partisipasi bagi pelbagai kegiatan sosial, kultural, politis, dan ekonomis pada zaman modern. Kemudian Global Monitoring Report Education for All (EFA) 2007: Literacy for All menyimpulkan bahwa kemampuan literasi baca-tulis berfungsi sangat mendasar bagi kehidupan modern karena–seperti diungkapkan oleh Koichiro Matsuura, Direktur Umum UNESCO–kemampuan literasi baca-tulis adalah langkah pertama yang sangat berarti untuk membangun kehidupan yang lebih baik (2006).
Pengertian dan Prinsip Literasi Baca-tulis