Manusia tidak dilahirkan dengan kepercayaan, sikap, dan penghargaan tertentu tentang demokrasi. Literasi (kemelekwacaan) kultur demokratis (democratic cultural literacy) diperoleh manusia secara berkesinambungan ketika mulai berhadapan dengan stimuli politik.
Memang manusia dilahirkan dengan naluri yang kuat tentang kebebasan dan keselamatan individual, tetapi tidak dilahirkan dengan pengetahuan tentang struktur sosial dan politik yang membuat kebebasan dapat dinikmati cuma-cuma. Baca Pemahaman Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Oleh karena itu, sebagai ajaran, demokrasi harus dipelajari, dan disebarluaskan agar tetap eksis dalam pikiran manusia. Sedangkan sebagai pilihan gaya hidup, demokrasi harus dilatihkan dan dipraktekkan sehingga ia menjadi ciri interaksi antar manusia
Sejalan dengan pikiran tadi, pendidikan demokrasi menjadi tak terelakan ketika tuntutan akan pentingnya menata struktur sosial dan politik secara demokratis kian menguat. Persoalannya adalah siapa yang akan terlibat dalam proses pendidikan demokrasi, serta dalam konteks budaya seperti apa praktek berdemokrasi akan disosialisasikan.
Pengertian demokrasi (demos cratein atau demos cratos) adalah suatu negara dengan sistem pemerintahan yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Artinya, kekuasaan tertinggi berada di hasil keputusan rakyat melalui wakil-wakilnya.
Pengertian demokratisasi adalah proses usaha, perbuatan atau cara untuk menjadi demokrasi atau dengan kata lain pendemokrasian.
Bangunan Koalisi (Coalition building)
Menata iklim demokrasi tidak cukup hanya dengan mendirikan kelembagaan demokrasi. Demokrasi yang sehat, untuk sebagian besar bergantung kepada pengembangan budaya warga negara yang demokratis (democratic civic culture). Budaya dalam artian perilaku, praktek-praktek, dan norma-norma yang mencerminkan kemampuan rakyat untuk mengatur diri mereka sendiri, terlebih dalam hal menyikapi konflik melakukan kompromi, dan konsensus.
Melebihi sistem politik apapun, tuntutan sistem demokrasi terhadap kepiawaian warganya dalam mengatasi konflik, melakukan kompromi dan konsensus tidak disangsikan lagi. Hal ini bukan saja terkait dengan sifat alamiah manusia, tetapi juga menyangkut mekanisme berdemokrasi.
Secara alami manusia memiliki beragam keinginan yang kadang-kadang kontradiktif. Manusia mengidam-idamkan rasa aman hadir di tengah-tengah hidupnya, tetapi pada saat yang sama, ia menyukai petualangan. Suatu waktu manusia membela kebebasan individual sambil mengumandangkan pentingnya persamaan sosial.
Sama seperti kehidupan manusia, perjalanan demokrasi kadang diwarnai cerita yang penuh paradoks. Larry Diamond (1991, dalam Fin, 1991), seorang peneliti pada Hoover Institution, menuturkan paradoks utama demokrasi hadir dalam bentuk konflik dan konsensus. Menurutnya, demokrasi dalam banyak hal tidak sekedar seperangkat aturan untuk menata konflik. Konflik harus ditata dalam batas-batas tertentu sehingga menghasilkan kompromi, konsensus, atau kesepakatan lain di mana semua sisi di terima secara legitimate.
Larry Diamond tampaknya memandang demokrasi sebagai sebuah persamaan yang dibangun dari unsur-unsur konflik, kompromi atau kesepakatan. Semua unsur harus mendapat perhatian yang proporsional ketika persamaan akan diterjemahkan maknanya
Penekanan yang berlebihan pada satu unsur persamaan dapat mengancam keseluruhan pengertian yang dibangun persamaan. Jika sebagian masyarakat menganggap demokrasi sebagai tidak lebih dari sekedar sebuah forum dimana mereka dapat mendesakkan tuntutannya, tatanan masyarakat demokratis dapat hancur dari dalam. Sebaliknya jika negara menggunakan tekanan untuk mencapai konsensus atau cara lain dalam membungkam suara-suara rakyat, maka hal ini merupakan penghancuran masyarakat dari atas.
Sebuah masyarakat demokratis menuntut komitmen warganya dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi, sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
Akar konflik pada masyarakat demokratis terletak pada persoalan interpretasi yang beragam tentang hak-hak demokratis dan prioritas sosial. Sekedar contoh, kerap menjadi perdebatan yang mengarah pada konflik tentang seberapa jauh hak negara untuk mengganti rugi tanah milik warga karena negara akan mengubahnya menjadi jalan tol. Tidakkah hak-hak sekelompok warga terganggu, atau dengan bahasa lain, apakah masyarakat merasa terlindungi bila aparat membubarkan aksi demonstrasi di jalanan?
Dua contoh tadi terasa tidak sederhana, dan literatur demokrasi tidak menyediakan jawaban yang rinci atas masalah serupa. Buku-buku teks demokrasi hanya menyediakan arahan dalam bentuk garis besar dalam menyikapi dan menganalisis isu-isu tersebut.
Apa yang pernah disebut Diane Revitch (1991) sebagai coalition building layak untuk disimak. Menurutnya, bangunan koalisi adalah esensi tindakan demokratis. Ia mendidik interest group untuk melakukan negosiasi dengan yang lainnya, berkompromi dan bekerja dalam sistem konstitusional. Dengan melakukan pemeliharaan koalisi, kelompok dengan perbedaannya belajar bagaimana bangunan dengan cara-cara damai, bagaimana mengejar tujuan mereka dengan cara-cara demokratik dan akhirnya bagaimana hidup rukun dalam dunia yang majemuk
Apa yang ditawarkan Revitch sebenarnya adalah cara pandang tentang demokrasi yang dipahami bukan hanya seperangkat doktrin tentang kebenaran yang tidak berubah. Tetapi sebagai sebuah mekanisme penyelesaian perselisihan dan kompromi ide-ide dan kepentingan individu atau lembaga betapapun tidak sempurnanya yang memungkinkan ditemukannya kebenaran atau penyelesaian yang memuaskan semua pihak.
Suka atau tidak inilah sisi pragmatis demokrasi. Ide dan pemecahan masalah tidak diuji melalui ideologi yang kaku, melainkan dicobakan dalam kehidupan sosial, sehingga ide dan pemecahan tadi argumentatif dan terus mengikuti perkembangan alam pikiran manusia, diterima atau mungkin pula dibuang.
Jadi, di dalam masyarakat demokratis, betapapun sempitnya, selalu tersedia ruang untuk berdialog dan melakukan pengujian atas cara-cara penyelesaian masalah yang telah menjadi pola yang berulang. Semua kesalahan diidentifikasi sehingga kesalahan yang sama tidak terjadi dua kali. Kemungkinan kelompok mempertemukan dan memecahkan perbedaan dan menawarkan peluang untuk melakukan inovasi dan investasi untuk ketersediaan infrastruktur yang tidak langsung bersinggungan dengan dunia politik pun tetap terjamin, sehingga kehidupan betul-betul terpadu dalam segala aspeknya.
Sumber: Suryadi Karim, Demokratisasi Pendidikan Demokrasi, UPI Bandung. 1999
Referensi:
- Fin Jr. Chester E. 1991, “Teaching Democracy: Why and Hoow It Must B Taught in a Democratic Society“, Remark prepared for the Nicaraguan Civic Education Conference, Managua, Nicaragua, June, 1991.
- Diane, Revitch, 1991, “Education and Culture in a Free Society”, Address to the Educational Excellence Network International Civic Educational Conference, Washington, D.C., April, 1991.
Demokratisasi Pendidikan Demokrasi