Tidak dapat dipungkiri bahwa sebutan Aceh sebagai daerah “sejuta warung kopi” sangat tepat. Banyak dijumpai warung kopi di daerah ini hingga ke pelosok desa. Warung kopi dapat digolongkan dalam satu bentuk kearifan lokal yang telah berlangsung lama di Aceh.
Kearifan lokal yang dibangun sebagai ideologi budaya, membutuhkan simbol-simbol identitas yang tentunya tidak saja diterima oleh masyarakat Aceh dengan berbagai konsensus moral yang diciptakan, tetapi juga mampu menjembatani keragaman yang datang dari berbagai subkultur yang berkembang di negeri serambi mekah ini.
Budaya Warung Kopi
Jika dilihat dari akar historis kulturalnya, warung kopi diduga muncul sebagai pengganti hiburan, tempat berkumpul, serta tempat berbagi informasi bagi orang-orang Aceh. Melalui proses yang demikian natural inilah, kemudian di setiap ruangnya melahirkan bentuk-bentuk komunalitas yang kokoh di Aceh. Karena itu, proses budaya yang berkembang demikian natural ini harus dihargai sebagai narasi budaya yang memiliki peran penting bagi transformasi ruang yang kini sedang menggejala di tanah rencong ini.
Sejak zaman dahulu sampai saat ini budaya warung kopi dirasakan cukup dominan dan memegang peranan penting dalam kegiatan berinteraksi di antara masyarakat Aceh. Belum didapatkan data statistik tentang perbandingan jumlah meunasuh (surau) dan kedai kopi, namun diperkirakan jumlah kedai kopi saat ini lebih banyak daripada meunasah. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan terjadinya perubahan sosial, politik dan budaya pada kehidupan masyarakat Aceh yang terjadi dalam warung kopi.
Secara umum kedai kopi di Aceh dianggap menjadi sarana yang lebih terbuka dan egaliter dalam menerima pengunjungnya. Pada tingkat super struktur inilah berbagai asumsi mengenai nilai-nilai, simbol-simbol agama, identitas, mentalitas, imaginasi, bahkan gagasan-gagasan muncul sebagai bentuk terbukanya ruang kebudayaan khususnya dalam memahami proses-proses interaksi sosial masyarakat yang mengarah kepada perubahan di Aceh. Pada level terendah antara individu dalam warung kopi saling berinteraksi dalam rangka menemukan dan mendiskusikan berbagai permasalahan yang bersifat pribadi sehingga dalam proses ini memungkinkan timbulnya simpati dan empati antara suatu pihak kepada pihak lainnya.
Nilai estetis sebuah warung kopi juga menjadi ruang hiburan yang tidak dapat digantikan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Fenomena warung kopi dapat dijumpai secara mudah mulai di perkotaan sampai di sudut-sudut pedesaan. Model-model kebudayaan semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat Aceh.
Musala, Masjid dan Warung Kopi
Meunasah (Musala), masjid dan warung kopi (keude kupi) adalah tiga pranata sosial yang sulit dipisahkan dalam kultur kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Ketiga pranata sosial tersebut sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat Aceh itu sendiri. Keberadaan tiga pranata sosial ini ditemukan menyebar di seluruh pelosok Aceh dan memiliki kesamaan fungsi untuk kegiatan sosialisasi dan interaksi di antara anggota masyarakat. Jika kehadiran meunasah dan masjid hadir saat penyebaran Islam, maka kedai kopi sulit ditelusuri sejarahnya
Gejala sosial tersebut sampai saat ini masih direkonstruksi oleh masyarakat Aceh, dengan mudah dapat ditemukan pandangan sekelompok masyarakat aceh yang mengunjungi warung kopi sehabis salat subuh atau pun habis salat jumat. Pengunjung warung kopi yang masih lekat dengan pakaian salat yang umumnya berwarna putih, dilengkapi dengan kopiah atau peci serta menggunakan kain sarung telah mampu menjadi stimulus terbentuknya simpati bagi sebagian individu atau kelompok lainnya yang menyaksikan pola sosial tersebut.
Teknologi Informasi dan Warung Kopi
Saat media elektronik ada, seperti radio dan televisi, warung kopi adalah tempat pertama yang menyediakan barang teknologi informasi tersebut. Sepertinya situasi hubungan warung kopi dengan masyarakat Aceh yang demikian rupa akan terus berkembang.
Saat budaya Teknologi Informasi (Information Technology) memasyarakat, penggunaan internet menjadi kebiasaan bagi sebagian besar pengunjung warung kopi. Hampir semua warung kopi, terutama di Banda Aceh yang berkedudukan sebagai Ibukota Provinsi menyediakan fasilitas internetan secara gratis. Pengunjung warung kopi dapat mengakses internet secara gratis dengan media akses seperti hand phone dan laptop yang dibawa sendiri oleh pengunjung.
Warung kopi adalah tempat teristimewa bagi penduduk Aceh sehingga pengelola warung kopi akan melakukan apa saja untuk membuat warung kopinya banyak dikunjungi. Televisi layar lebar telah ramai digunakan di warung kopi yang secara khusus dipergunakan untuk pengunjung warung kopi yang ingin menonton suatu kejuaraan olah raga tertentu secara bersama (nonton bareng). Memesan segelas kopi adalah alasan untuk bisa seharian duduk sambil menikmati tontonan siaran kejuaraan olahraga di warung kopi yang dipancarkan stasiun dalam dan luar negeri.
Namun demikian, banyak orang yang meyakini bahwa rutinitas keseharian masyarakat Aceh yang banyak dihabiskan di warung kopi pada dasarnya merupakan sebuah energi positif yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sebagai sebuah entitas yang peradabannya pernah dikenal dunia. Eksisnya diskusi-diskusi ringan di warung kopi adalah menjadi alasan utama.
Interaksi sosial Di Warung Kopi
Banyak pengunjung warung kopi mengakui bahwa mereka banyak sekali mendapatkan inspirasi, ide maupun gagasan-gagasan berawal dari diskusi ringan di warung kopi, bahkan ada yang berlanjut menjadi suatu yang spektakuler, semisal diskusinya berakhir dengan berdirinya sebuah parpol, berdirinya penerbit buku, berbagai macam model usaha, dan sebagainya. Kondisi serupa ini menjadi pendorong yang menumbuhkan motivasi sebagai media pembelajaran bagi pengunjung untuk melaksanakan aktivitas sosial, ekonomi, budaya dan politiknya dengan penuh tanggung jawab.
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, dan tanpa kehidupan sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Sedangkan kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks, tetapi padanya dapat dibeda-bedakan beberapa faktor yang mendasarinya, baik secara tunggal maupun bergabung.
Memotivasi pengunjung melakukan interaksi dalam warung kopi sebagai tempat berkumpulnya semua elemen masyarkat yang sekaligus menjadi pusat informasi yang dapat diakses oleh masyarakat secara efektif dan efisien. Minum di warung kopi sudah menjadi sarana hiburan dan bagian dari life style bagi sebagian masyarakat Aceh. Selain itu juga diduga karena keterbatasan sarana hiburan dalam kultur masyarakat Aceh yang mendorong lahirnya interaksi sosial dalam warung kopi. Barang kali dapat dimaklumi bahwa di Provinsi Aceh sangat terbatas dengan tempat hiburan malam, bahkan bioskop pun tidak ada. Jadilah warung-warung kopi itu menjadi wadah untuk ajang temu dengan kawan, relasi bahkan kumpul keluarga.
Ketegangan dalam berdiskusi bisa diredam dengan minum kopi bersama-sama, dapat mengatasi kesalahpahaman dalam berkomunikasi secara rileks sambil minum di warung kopi. Hasil diskusi dalam warung kopi diyakini lebih berkualitas dan kompleks, karena anggota diskusi memungkinkan berada dalam kondisi rileks, nyaman, dan dengan demikian lebih terbuka dalam menyikapi serta mengakomodir berbagai perbedaan pendapat yang berkembang dalam diskusi
Warung kopi merupakan ruang ”informal” dimana batas-batas strukturasi vertikal maupun horisontal telah menjadi ”abu-abu” meski masih dalam batas norma kesopanan. Di dalam warung kopi sudah tidak amat penting lagi atasan dan bawahan, kaya maupun miskin, bekerja maupun pengangguran, priyayi maupun rakyat biasa, bangsawan atau bukan, ulama bisa berkelakar dengan umat, teungku bisa berdebat dengan orang awam, perempuan bisa duduk bersama laki-laki.
Di luar warung kopi kehidupan nyata seseorang terbelenggu oleh batasan-batasan struktur sosial dan budaya, sehingga tidak bisa sembarangan berbicara semaunya dalam hubungan yang sepadan. Semunya itu menumbuhkan kejenuhan, keputusasaan, sinisme, tekanan-tekanan psikologis, energi amarah dan konflik invidual maupun kelompok (prinsip liminalitas) Maka di warung kopi ekspresi keinginan bicara bisa ditumpahkan tanpa terlalu direpotkan dengan sekat-sekat dan struktur yang membelenggu.
Warung kopi telah menjadi sebuah ruang publik informal sebagai mekanisme untuk melepaskan diri dari belenggu ritual dalam komunitas kebudayaan masyarakat Aceh. Ruang publik “tradisional” yang dikenal di Indonesia, diantaranya adalah alun-alun, pasar-pasar, tempat-tempat peribadatan dan jalan-jalan serta jalur aksesibilitas lainnya. Ruang ini bersifat multi fungsi, selain berfungsi sebagai wadah kegiatan perekonomian, juga menjadi wadah interaksi sosial dan budaya masyarakat.
Sumber:
Cut Khairani, Pendorong Interaksi Sosial Masyarakat Aceh Dalam Warung Kopi. Jurnal Lentera Vol. 14. No. 10, Nopember 2014.
Budaya Warung Kopi Masyarakat Aceh