Seperti yang kita ketahui bahwa minyak bumi merupakan sumber energi utama yang banyak digunakan baik itu industri, transportasi maupun rumah tangga. Hali itu, selain menyebabkan meningkatnya kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan transportasi produksi minyak bumi, juga semakin besar pula kecenderungan untuk mencemari lingkungan dari buangan limbah hasil kegiatan tersebut, terutama di wilayah pesisir.
Limbah yang dihasilkan dari kilang minyak bumi berupa limbah cair dan limbah padat. Produksi kilang minyak bumi sebanyak 1000 barrel per hari akan menghasilkan limbah padat (lumpur minyak) lebih dari 2.6 barrel. Di Indonesia, produksi kilang diperkirakan menghasilkan minyak bumi sekitar 1,2 juta barrel per hari yang berarti menghasilkan limbah padat sebanyak 3120 barrel per hari dan dalam waktu satu tahun menghasilkan limbah sebanyak 1.3 juta barrel, yang 285.000 barrel diantaranya adalah limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Pengaruh Limbah Minyak Bumi
Limbah lumpur minyak bumi berpengaruh pada ekosistem pesisir baik terumbu karang, mangrove maupun biota air, baik yang bersifat lethal (mematikan) maupun sublethal (menghambat pertumbuhan, reproduksi dan proses fisiologis lainnya). Hal ini karena adanya senyawa hidrokarbon yang terkandung di dalam minyak bumi, yang memiliki komponen senyawa kompleks, termasuk di dalamnya Benzena, Toluena, Ethilbenzena dan isomer Xylena (BTEX). Meskipun merupakan senyawa aromatik dalam jumlah kecil dalam hidrokarbon, namun pengaruhnya sangat besar terhadap pencemaran, perairan.
Kasus yang terjadi, minyak di Guilt of Eilat (Red Sea) telah merusak gonad Stylophora pistillata, menurunkan survival rate koloni-koloni karang dan menurunkan jumlah produksi planula. Tumpahan minyak diesel dan minyak “Bunker C” Witwater di daerah Panama 1968 menyebabkan benih-benih Avicennia dan Rhizophora sp serta berbagai invertebrata, penyu, burung dan alga yang hidup di daerah intertidal mangrove mati. Masih banyak kasus lain seperti tumpahan minyak bahan bakar yang bersumber dari kapal tongkang pengangkut minyak.
Semua itu berpengaruh buruk bagi lingkungan perairan khususnya biota yang ada di dalamnya, sehingga menyebabkan turunnya produktivitas sumber daya perikanan. Oleh karena itu, upaya penanggulangannya mutlak harus dilakukan.
Pengolahan Limbah Minyak Bumi Secara Biologi
Pengolahan limbah minyak bumi dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisika dilakukan untuk pengolahan awal yaitu dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima “reservoar” baik dalam bentuk tangki ataupun balon dan dilanjutkan dengan pengolahan secara kimia, namun biayanya mahal dan dapat menimbulkan pencemar baru.
Pengolahan limbah secara biologi merupakan alternatif yang efektif dari segi biaya dan aman bagi lingkungan. Pengolahan dengan metode biologis disebut juga bioremediasi, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan makhluk hidup khususnya mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar (Kepmen LH No. 128, 2003).
Mikroorganisme, terutama bakteri yang mampu mendegradasi senyawa yang terdapat di dalam hidrokarbon minyak bumi disebut bakteri hidrokarbonoklastik. Bakteri ini mampu men-degradasi senyawa hidrokarbon dengan memanfaatkan senyawa tersebut sebagai sumber karbon dan energi yang diperlukan bagi pertumbuhannya.
Mikroorganisme ini mampu menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya. Mikroorganisme ini berpartisipasi dalam pembersihan tumpahan minyak dengan mengoksidasi minyak bumi menjadi gas karbon dioksida (CO2), bakteri pendegradasi minyak bumi akan menghasilkan bioproduk seperti asam lemak, gas, surfaktan, dan biopolimer yang dapat meningkatkan porositas dan permeabilitas batuan reservoir formasi klastik dan karbonat apabila bakteri ini menguraikan minyak bumi.
Bakteri Pengolah Limbah Minyak Bumi
Berikut adalah reaksi degradasi senyawa hidrokarbon fraksi aromatik oleh bakteri yang diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.
Bakteri hidrokarbonoklastik diantaranya adalah Pseudomonas, Arthrobacter, Alcaligenes, Brevibacterium, Brevibacillus, dan Bacillus. Bakteri-bakteri tersebut banyak tersebar di alam, termasuk dalam perairan atau sedimen yang tercemar oleh minyak bumi atau hidrokarbon. Kita hanya perlu mengisolasi bakteri hidrokarbonoklastik tersebut dari alam dan mengkulturnya, selanjutnya kita bisa menggunakannya sebagai pengolah limbah minyak bumi yang efektif dan efisien, serta ramah lingkungan.
Bioremediasi selalu menjadi bahan bacaan yang menarik perhatian, bukan hanya karena agen – agen biologis yang digunakan seperti halnya bakteri dan jamur sangat mudah ditemui di sekitar kita, melainkan kegiatan ini masih merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi masalah pencemaran baik yang terjadi di lingkungan perairan maupun tanah akibat adanya limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia baik industri, transportasi bahkan rumah tangga. Hal ini karena produk akhir yang dihasilkan dari proses bioremediasi berupa karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga tidak ada hasil samping lain yang berpotensi menjadi pencemar baru setelah proses bioremediasi dilakukan.
Bakteri “Pemakan Minyak” Terselip di antara Sedimen Segara Anakan Cilacap
Bacillus megaterium dan Bacillus aquimaris merupakan dua dari 6 bakteri yang berhasil diisolasi oleh Tim Riset dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yaitu Dr. Agung D.S; Nuning V.H; Yani, Mohamad; Sudiana dan I Made pada tahun 2008 dari sedimen di Segara Anakan Cilacap. Kedua bakteri ini merupakan bakteri pembentuk spora yang bersifat kosmopolit dan memerlukan syarat hidup yang sederhana, bersifat aerob dan fakultatif anaerob. Selnya berbentuk batang, mampu memproduksi katalase, dan bersifat gram positif. Kedua bakteri ini juga termasuk bakteri halotolerant dimana mereka memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan kadar garam di lingkungan tempat hidupnya.
Bacillus megaterium dan bacillus aquimaris juga termasuk dalam kelompok bakteri hidrokarbonoklastik, yaitu bakteri yang mampu memanfaatkan senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi sebagai sumber karbon dan energi bagi pertumbuhannya, sehingga sering pula disebut sebagai bakteri ‘pemakan minyak’. Mikroorganisme ini mampu menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya sehingga mikroorganisme seperti bakteri dan jamur juga berperan dalam pembersihan tumpahan minyak di perairan.
Bakteri hidrokarbonoklastik mampu beradaptasi pada lingkungan yang tercemar hidrokarbon melalui beberapa cara yaitu pembentukan bagian hidrofobik (anti air) pada dinding sel untuk meningkatkan afinitas (ikatan) sel terhadap hidrokarbon, menghasilkan surfaktan atau zat aktif permukaan ekstraselular yang dapat meningkatkan kelarutan hidrokarbon serta modifikasi intraselular membran sitoplasmik untuk mengurangi toksisitas (daya racun) hidrokarbon pada bakteri.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman (Dhama PL) selama 56 hari bioremediasi menunjukkan bahwa B. megaterium mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon dalam limbah lumpur minyak bumi sebesar 8.016,67 mg/ kg (79,70 %) sedangkan B. aquimaris mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon sebesar 14.449,92 mg/kg (84,09 %) dengan kemampuan paling baik mendegradasi senyawa fraksi ringan dalam minyak bumi seperti n-alkana, sedangkan kombinasi B. megaterium dan B. aquimaris mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon sebesar 11.950 mg/kg (81,02 %) dengan kemampuan degradasi yang baik pada fraksi berat seperti benzene, toluene, ethylbenzene dan isomer xylene (BTEX) dimana senyawa – senyawa tersebut dapat bersifat kronik dan karsinogenik (menyebabkan kanker).
Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan 4 buah reaktor uji ukuran 40 x 40 x 50 cm yang didalamnya diberikan media berupa tanah dan serbuk gergaji, kemudian kedalamnya ditambahkan juga limbah lumpur minyak bumi (oil sludge). Selanjutnya, kedalam 4 reaktor uji tersebut berturut – turut ditambahkan kultur bakteri B. megaterium, B. aquimaris dan kombinasi kedua bakteri, sedangkan salah satu reaktor uji tidak diberikan penambahan kultur bakteri karena sebagai kontrol. Ke dalam semua reaktor uji juga ditambahkan pupuk yang mengandung nitrogen dan fosfor untuk memberikan lebih banyak nutrisi bagi bakteri agar proses degradasi senyawa hidrokarbon dalam limbah lumpur minyak bumi dapat semakin cepat.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa penambahan bakteri (kontrol), senyawa hidrokarbon tetap mengalami penurunan. Hal ini karena didalam reaktor uji tersebut terdapat bakteri indigenous (bakteri yang sudah ada dalam media) yang juga mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon, namun kemampuan degradasinya jauh lebih rendah daripada perlakuan yang menggunakan penambahan kultur bakteri dari luar (bioaugmentasi). Oleh karena itu, teknik bioaugmentasi tetap perlu dilakukan dalam kegiatan bioremediasi agar pengolahan limbah minyak bumi dapat berhasil dengan lebih baik lagi.
Semakin banyaknya informasi mengenai kemampuan mikrorganisme khususnya bakteri dalam mengolah limbah minyak bumi sampai saat ini semoga mampu menjadi motivasi bagi masyarakat khususnya para pelaku usaha industri sehingga lebih berperan serta dalam upaya pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Mari tetap bersama sama dukung bioremediasi.
Sumber: Dhama Peni Lasari – Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2010.